PENDAHULUAN
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang memiliki kebutuhan fundamental untuk berhubungan dengan orang lain. Menurut John Bowlby (1969) melalui teori attachment, kebutuhan akan kedekatan emosional merupakan aspek esensial dalam perkembangan dan kesejahteraan psikologis individu. Namun, era digital membawa perubahan besar terhadap cara manusia terhubung. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan berbagai platform digital menciptakan bentuk interaksi baru yang cepat, praktis, tetapi belum tentu mendalam. Sherry Turkle (2011), seorang profesor MIT menyebut fenomena ini sebagai kondisi “alone together” sebuah keadaan di mana seseorang selalu terhubung secara digital tetapi merasa kesepian secara emosional.
Manusia sebagai Makhluk Sosial
Dalam psikologi, kebutuhan untuk membangun hubungan sosial dikemukakan secara mendalam oleh Baumeister dan Leary (1995) melalui konsep belongingness hypothesis, yaitu kebutuhan universal manusia untuk membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna. Hubungan sosial tidak hanya menyediakan dukungan emosional, tetapi juga membantu individu membangun identitas dan harga diri. Oleh karena itu, ketika hubungan sosial terganggu atau bergeser menjadi lebih dangkal akibat pola komunikasi digital, potensi munculnya kesepian semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi sosial tidak dapat dinilai dari kuantitas hubungan, tetapi dari kualitas keterhubungan emosional yang tercipta.
Interaksi Digital dalam Masyarakat Modern
Teknologi digital memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, media digital memberikan akses yang luas terhadap informasi dan jejaring sosial. Menurut Kaplan dan Haenlein (2010), media sosial memungkinkan terciptanya hubungan lintas geografis yang sulit terbangun pada era sebelumnya. Komunitas berbasis minat, forum dukungan emosional daring, dan kemudahan berbagi pengalaman menjadi keuntungan yang signifikan.
Di sisi lain, sifat komunikasi digital yang serba cepat dan minim ekspresi nonverbal dapat mengurangi kualitas interaksi. Turkle (2015) menegaskan bahwa penggunaan media sosial secara intens dapat melemahkan kemampuan empati karena interaksi digital cenderung terfragmentasi. Selain itu, validasi digital melalui “likes” atau komentar dapat menciptakan ketergantungan emosional yang tidak sehat.
Kesepian di Tengah Konektivitas Digital
Kesepian merupakan pengalaman emosional subjektif ketika individu merasa tidak memiliki hubungan sosial yang bermakna, meskipun secara kuantitatif ia mungkin memiliki banyak teman atau pengikut. Menurut Weiss (1973), kesepian terdiri dari dua jenis: kesepian emosional (kekurangan kedekatan intim) dan kesepian sosial (kekurangan rasa kebersamaan dalam kelompok). Dalam konteks era digital, banyak individu mengalami kesepian emosional karena interaksi virtual tidak mampu menggantikan kehangatan hubungan tatap muka. Studi oleh Twenge (2018) menunjukkan peningkatan tingkat kesepian di kalangan remaja yang memiliki intensitas penggunaan media sosial tinggi, menunjukkan adanya korelasi antara paparan digital dan isolasi emosional.
Mekanisme Psikologis yang Menyebabkan Kesepian
Fenomena kesepian pada era digital dipengaruhi oleh beberapa mekanisme psikologis. Salah satunya adalah ilusi koneksi, di mana individu merasa telah terkoneksi secara sosial padahal interaksi yang terjadi hanya bersifat dangkal. Menurut Hampton (2016), hubungan di media sosial sering kali hanya menciptakan “weak ties”, yaitu hubungan yang lemah dan minim keintiman.
Mekanisme lain adalah fear of missing out (FOMO). Penelitian oleh Przybylski et al. (2013) menunjukkan bahwa FOMO meningkatkan kecemasan sosial dan rasa tidak puas terhadap kehidupan sendiri. Media sosial memperlihatkan momen-momen terbaik orang lain sehingga mendorong munculnya perbandingan sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Festinger (1954) dalam teori perbandingan sosial. Ketika individu merasa kehidupannya kurang menarik dibandingkan yang ditampilkan orang lain, tingkat kesepian meningkat.
Selain itu, penggunaan media sosial memicu pelepasan dopamin melalui notifikasi dan respons cepat, yang menciptakan perilaku adiktif. Alter (2017) menjelaskan bahwa pola tersebut menyerupai mekanisme adiksi, karena individu terus menginginkan respons digital meskipun tidak mendapatkan pemenuhan emosional yang bersifat jangka panjang.
Dampak Kesepian terhadap Kesehatan Mental
Kesepian berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental dan sosial. Cacioppo dan Hawkley (2009) menemukan bahwa kesepian kronis dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, penurunan fungsi kognitif, serta gangguan tidur. Dalam konteks sosial, kesepian juga menyebabkan menurunnya kemampuan bersosialisasi dan meningkatnya perilaku menarik diri. Ketika seseorang bergantung pada interaksi digital dan menghindari hubungan tatap muka, kualitas koneksi sosial menjadi semakin rapuh, sehingga memperkuat lingkaran kesepian.
Upaya Mengatasi Kesepian dan Membangun Hubungan Bermakna
Upaya untuk mengurangi kesepian pada era digital harus dilakukan melalui peningkatan kualitas interaksi, bukan hanya kuantitas. Penelitian oleh Dunbar (2010) menunjukkan bahwa manusia hanya mampu mempertahankan sejumlah kecil hubungan dekat secara efektif, sehingga selektivitas dalam pertemanan menjadi faktor penting. Interaksi tatap muka perlu diperbanyak karena komunikasi langsung memungkinkan hadirnya ekspresi emosional yang tidak dapat tercapai melalui media digital.
Selain itu, literasi digital dan digital well-being perlu ditanamkan agar individu mampu mengelola waktu penggunaan media sosial secara sehat. Self-awareness juga diperlukan agar individu dapat mengevaluasi bagaimana media sosial memengaruhi suasana hati dan kesehatan mentalnya. Bergabung dalam komunitas offline, terlibat dalam kegiatan sosial, dan membangun kedekatan berbasis empati merupakan langkah penting dalam membentuk hubungan yang lebih autentik dan memuaskan secara emosional.
PENUTUP
Meskipun teknologi digital memperluas kesempatan berkomunikasi, kualitas keterhubungan manusia sering kali menurun akibat pola interaksi yang terlalu dangkal. Manusia tetap membutuhkan hubungan yang hangat, intim, dan autentik untuk mencapai kesejahteraan emosional. Fenomena kesepian di era digital merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor psikologis seperti FOMO, perbandingan sosial, ilusi koneksi, dan ketergantungan terhadap sistem reward digital. Oleh karena itu, penting bagi individu dan masyarakat untuk menyeimbangkan antara hubungan digital dan tatap muka serta mengembangkan kesadaran untuk membangun hubungan sosial yang lebih bermakna.
Penulis: Anya Adliliani (01101425078), Ramla Salaila (01101425077), Raditia N. Yusuf (01101425069).
DAFTAR PUSTAKA
Alter, A. (2017). Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked. Penguin Press.
Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The Need to Belong: Desire for Interpersonal Attachments as a Fundamental Human Motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497–529.
Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss: Vol. 1. Attachment. Basic Books.
Cacioppo, J. T., & Hawkley, L. C. (2009). Perceived Social Isolation and Cognition. Trends in Cognitive Sciences, 13(10), 447–454.
Dunbar, R. (2010). How Many Friends Does One Person Need? Dunbar’s Number and Other Evolutionary Quirks. Faber & Faber.
Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations, 7, 117–140.
Hampton, K. (2016). Persistent and Pervasive Community: New Communication Technologies and the Future of Community. American Behavioral Scientist, 60(1), 101–124.
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). Users of the World, Unite! The Challenges and Opportunities of Social Media. Business Horizons, 53(1), 59–68.
Przybylski, A. K., et al. (2013). Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.
Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.
















