EKOPOLIS.CO.ID – AS diduga melakukan kekerasan seksual terhadap Siswinya di MTS Nahdatul Khairaat Popayato Timur, yang tengah menjadi sorotan saat ini, disamping Terduga Pelaku merupakan Tenaga Pendidik, AS juga merupakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)di Kantor Urusan Agama (KUA) Popayato .
Irsat menilai bahwa AS tidak pantas dipertahankan sebagai aparatur sipil negara (ASN), mengingat dugaan kejahatan seksual yang dilakukannya sangat serius, karena korban Pelecehan bisa mengalami trauma yang mendalam dan bisa saja masa depan yang dikorbankan.
” Tidak bisa kita tolerir permasalahan pelecehan seksual seperti ini, jangan jadikan Korban sebagai Korban lagi, Aparat Kepolisian dan Pemerintah segera cepat menangani kasus ini. Negara tidak pantas memberikan penghargaan dalam bentuk pekerjaan terhadap pelaku kekerasan seksual seperti ini,” tegas Irsat.
Irsat mengatakan bahwa ada telah menginternalisasi ideologi patriarki secara ekstrem. Menurutnya, relasi kekuasaan yang timpang antara pelaku dan korban turut berperan besar dalam terjadinya kekerasan” Pungkasnya.
Dalam kasus ini, pihak pihak kepolisian juga didorong untuk menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), bukan hanya UU Perlindungan Anak.
“UU TPKS itu lebih rigid. Ia tidak hanya menjelaskan jenis-jenis kekerasan seksual, tapi juga memberikan panduan hukum acara yang lengkap. Kalau pakai UU Perlindungan Anak saja, justru bisa mentah,” tegasnya.
Irsat mengajak kepada korban korban kekerasan seksual untuk mulai berani menyuarakan perasaannya dan mencari pertolongan dari pihak-pihak terpercaya.
“Kalau sudah jadi korban, jangan takut bersuara. Sekarang banyak lembaga layanan, ada UPTD PPA, ada kepolisian, ada komunitas yang bisa dipercaya. Kalau tidak melapor, pelaku akan terus beraksi tanpa henti,” jelas Irsat.
Irsat menegaskan bahwa penonaktifan AS dari jabatannya sebagai tenaga PPPK adalah langkah minimal yang harus dilakukan, sambil menunggu proses hukum berjalan. (*)

















