EKOPOLIS.CO.ID — Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Bone Bolango menggelar aksi demonstrasi pada Selasa, 18 November 2025, menyoroti penanganan hukum atas sengketa lahan di kawasan Rumah Sakit Toto Kabila, Kabupaten Bone Bolango. Aksi ini turut melibatkan masyarakat setempat dan beberapa pasien eks kusta yang terdampak langsung atas polemik tersebut.
Lahan yang menjadi objek sengketa diketahui merupakan tanah hibah dari ahli waris Lamako Latjuba kepada Pemerintah Daerah pada tahun 1942. Proses hibah tersebut disebut disaksikan sejumlah tokoh daerah, termasuk Pahlawan Nasional Nani Wartabone. Namun, sejak 2017 hingga 2021, muncul klaim baru dari istri keempat Lamako Latjuba dan anak-anaknya yang mengaku sebagai ahli waris dan menggugat kepemilikan terhadap lahan tersebut.
Koordinator lapangan aksi, Yanto Ali, mempertanyakan keabsahan dokumen yang digunakan pihak penggugat. Ia menilai terdapat indikasi penggunaan dokumen yang tidak sah dan tidak memiliki legitimasi hukum.
“Kami turun ke jalan karena tanah ini sudah tercatat sebagai aset pemerintah daerah. Pertanyaannya, mengapa bisa terbit sertifikat atas nama lain padahal dasar hukumnya tidak jelas? Kami bahkan mendapat penolakan dari ahli waris lainnya atas terbitnya sertifikat tersebut,” ujarnya.
Yanto juga menyoroti peran Pemerintah Desa Toto Utara yang disebut mengeluarkan rekomendasi penerbitan sertifikat tanpa melibatkan seluruh ahli waris. Padahal, menurutnya, ahli waris dari istri kedua Lamako Latjuba telah lama menerima bahwa lahan tersebut telah dihibahkan kepada pemerintah.
Melihat adanya dugaan pelanggaran hukum, aliansi membawa permasalahan ini ke Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk dilakukan penelaahan dan penindakan.
Aksi demonstrasi tersebut kemudian direspons oleh Pemerintah Daerah Bone Bolango. Sekretaris Daerah turun langsung bersama massa aksi untuk meninjau lahan yang disengketakan. Meski demikian, Yanto Ali tetap mengeluarkan ultimatum.
“Kami telah menyerahkan fakta integritas dan memberi waktu 14 hari kepada Pemda mulai hari ini, 18 November 2025, untuk menuntaskan permasalahan ini. Kami akan melakukan tekanan lanjutan dua minggu ke depan,” tegasnya.
Sementara itu, orator aksi, Gusnar Rupu, menilai kasus tersebut tidak sekadar sengketa administratif, melainkan bentuk penindasan terhadap warga yang tinggal di atas lahan yang disengketakan.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Tindakan ini masuk dalam kategori penyerobotan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP serta Pasal 2 dan Pasal 6 Perppu Nomor 51 Tahun 1960. Penyerobotan tanah merupakan tindak pidana berupa menjual, menukar, atau menggunakan hak atas tanah milik orang lain secara melawan hukum demi menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain,” ujarnya.
Aliansi menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga ada kejelasan hukum dan penyelesaian yang berpihak pada kepentingan masyarakat. (*)

















