EKOPOLIS.CO.ID, GORONTALO – Implementasi keadilan restoratif (restorative justice) di wilayah hukum Polda Gorontalo kini tengah mendapat sorotan tajam.
Aktivis vokal, Yanto Ali, secara terbuka mempertanyakan komitmen kepolisian terkait penahanan lima warga yang hingga kini belum juga ditangguhkan, padahal proses perdamaian secara kekeluargaan antara pihak pelapor dan terlapor dikabarkan telah tercapai sepenuhnya. Situasi ini memicu diskusi kritis mengenai sejauh mana diskresi kepolisian digunakan untuk mendukung rekonsiliasi sosial di masyarakat.
Yanto Ali menilai, bertahannya kelima orang tersebut di dalam sel tahanan menciptakan kesan adanya kekakuan birokrasi yang mengabaikan substansi keadilan. Menurutnya, ketika kedua belah pihak yang bersengketa telah sepakat mencabut laporan dan saling memaafkan, semestinya penyidik segera mengambil langkah progresif.
Penahanan yang berlarut-larut pasca-damai dianggap sebagai beban psikologis dan sosial bagi warga, yang secara hukum seharusnya sudah bisa mendapatkan keadilan yang lebih cepat dan manusiawi.
Dalam perspektif hukum yang lebih luas, Yanto Ali mengingatkan bahwa semangat Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif seharusnya menjadi rujukan utama. Ia menekankan bahwa hukum tidak boleh hanya dipandang sebagai alat penghukum, tetapi juga sebagai instrumen pemulihan keadaan.
Kelambanan dalam merespons perdamaian ini dikhawatirkan akan mencederai kepercayaan publik terhadap efektivitas program prioritas Kapolri di tingkat daerah.
Kini, perhatian tertuju pada kebijakan Kapolda Gorontalo untuk mengevaluasi kinerja jajarannya di tingkat penyidikan. Adanya perbedaan dalam penahanan yang begitu ringkas serta adanya melepaskan tahanan yang begitu sulit walaupun sudah damai.
Publik menanti transparansi mengenai kendala teknis apa yang menghambat proses pembebasan kelima warga tersebut.
Yanto Ali menegaskan bahwa profesionalisme Polri sedang diuji; apakah institusi ini mampu bergerak lincah mengikuti denyut perdamaian di masyarakat, atau justru terjebak dalam labirin administratif yang mengabaikan sisi kemanusiaan.
Harapannya, kepastian hukum segera hadir tanpa harus menunda hak kemerdekaan warga lebih lama lagi. (*)

















