PENDAHULUAN
Setiap manusia memandang dunia dengan cara yang berbeda. Ada yang melihat kehidupan sebagai perjalanan penuh tantangan, sementara yang lain melihatnya sebagai ruang penuh kemungkinan. Perbedaan cara panjang ini muncul bukan hanya dari pengalaman hidup, tetapi juga bagaimana otak, perasaan, dan persepsi berinteraksi satu sama lain. Ketiganya membentuk satu kesatuaan yang sangat kuat dalam diri manusia.
Menurut King (2017), otak bekerja sebagai pusat pemprosesan informasi yang menerima masukan dari pancaindra lalu mengubahnya menjadi representasi mental. Namun, representasi ini tidak pernah benar-benar objektif. Emosi yang sedang kita rasakan, memori masa lalu, keyakinan, dan bias kognitif ikut mempengaruhi cara kita menangkap dan menilai realitas. Hasil penelitian dari Schacter et al (2011) menyebut fenomena ini sebagai constructive perception, persepsi yang dibentuk, bukan sekadar diterima.
Adapun Goldstein (2014) menjelaskan bahwa persepsi sebenarnya adalah hasil interaksi kompleks antara sensasi (masukan dari indra) dengan proses interpretasi yang dilakukan oleh otak berdasarkan pengalaman, harapan, dan keadaan emosional. Artinya, cara kita melihat dunia tidak pernah terpisah dari cara kita merasakan dunia.
Dengan demikian, otak, perasaan, dan persepsi sebenarnya adalah “Trio” yang bekerja bersama membentuk kepribadian, keputusan, dan cara kita memahami diri sendiri serta orang lain. Artikel ini membahas bagaimana ketiganya saling mempengaruhi dan mengapa memahami hubungan ini sangat penting dalam hidup sehari-hari.
Otak: Mesin Pengolah yang Membentuk Cara Kita Memahami Dunia
Sejak awal tahun 2000-an, berbagai kajian psikologi dan pendidikan di indonesia semakin menyoroti peran otak sebagai pusat pengolahan informasi yang menentukan cara manusia berpikir, belajar, serta memahami realitas. Dalam perspektif ini, otak tidak hanya di pandang sebagai organ biologis yang mengkoordinasikan gerak tubuh, tetapi sebagai sistem temprosesan yang bekerja sejara kompleks untuk menerima rangsangan, memilah-milahnya, menafsirkan menyimpan hasil pemrosesan tersebut, lalu menghasilkan respon yang sesuai. Melalui rangkaian proses itulah manusia mamapu membangun persepsi, keyakinan, serta cara mereka menafsirkan pengalaman hidup sehari-hari.dengan kata lain, apapun yang di pahami manusia mengenai dunia merukan hasil kerja internal otak dalam mengelolah informasi yang terus mengalir dari lingkungannya.
Dalam literatur Indonesia, salah satu pemikir yang banyak membahas hal ini adalah Shale (2004) dalam karyanya psikologi pendidikan. Shale menjelaskan bahwa kegiatan belajar dan pembentukan pemahaman merupakan hasil dari proses otak mengelolah stimulus menjadi pengalaman bermakna. Ia mengemukakan bahwa otak menyimpan pengalaman kedalam struktur pengetahuan yang di sebut skema. ketika informasi baru masuk, otak berupaya mencocokkannya dengan skema yang sudah ada. jika informasi tersebut sejalan, maka skema yang ada diperteguh namun jika tidak sesuai, otak akan menyesuaikan skema sebelumnya agar dapat menampung informasi baru. Hal ini menunjukan bahwa manusia bukan penerima informasi yang pasif, melainkan pelaku aktif yang terus mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas otaknya. Karena itu, pemahaman seseorang terhadap dunia terbentuk melalui interaksi antara pengalaman lama dan informasi baru yang di proses secara dinamis oleh otak.
Dalam dunia pendidikan, gagasan bahwa otak bekerja sebagai pengelolah informasi di perluas melalui pendekatan brain-based learning (Rianto, 2010). Rianto menjelaskan bahwa otak memiliki pola tersendiri dalam mengelolah informasi, sehingga proses pembelajaran idealnya mengikuti cara kerja otak tersebut. Otak tidak hanya menyimpan data, tetapi juga mencari pola, membangun hubungan antar informasi, dan membentuk makna berdasarkan pengalaman sensorik maupun emosional yang menekankan bahwa fungsi otak bersifat kholistik, komponen kognitif, emosional, dan sensorik bekerja secara terintegrasi. Oleh karena itu, pengalaman yang melibatkan emosi atau keterlibatan aktif cenderung lebih mudah di pahami dan di ingat. Melalui pandangannya, Rianto memperlihatkan bahwa pemahaman bukan semata hasil pembelajaran, tetapi hasil konstruksi makna yang dilakukan otak terhadap pengalaman hidup.
Perasaan: Mesin Penggerak Persepsi Kita
Dalam kajian psikologi modern di Indonesia, hubungan antara perasaan dan persepsi dipahami sebagai hubungan yang sangat erat dan saling menentukan. Perasaan dianggap bukan hanya reaksi emosional sementara, tetapi salah satu faktor utama yang menggerakkan cara seseorang menangkap, memilih, dan menafsirkan informasi dari lingkungan. Menurut Susanto (2015) bahwa emosi adalah variabel kognitif-emosional yang secara langsung memengaruhi bagaimana seseorang memandang lingkungan sosialnya. Sementara itu Nugroho (2018), menegaskan bahwa emosi berperan penting dalam proses interpretasi. Ia menekankan bahwa emosi tidak hanya berpengaruh pada tahap awal persepsi, tetapi juga pada tahap akhir ketika individu memberikan makna pada suatu pengalaman. Adapun Hidayati (2012) menjelaskan bahwa emosi berperan sebagai pemicu awal dalam proses persepsi. Ketika seseorang mengalami emosi tertentu, aktivitas pada sistem limbik meningkat, sehingga otak memberikan prioritas pemrosesan pada rangsangan yang berkaitan dengan emosi tersebut. Menurut Hidayati, keadaan emosi inilah yang membuat dua individu dapat memiliki persepsi berbeda terhadap situasi yang sama. Ia menyebut bahwa persepsi bukan hanya hasil dari proses sensorik, tetapi juga cerminan dari kondisi emosional internal individu yang membentuk cara otak menafsirkan realitas. Penelitian ini meenunjukan bahwa emosi dapat meodifikasi persepsi melalui proses seleksi perhatian dan pembentukan makna.
Persepsi: Konstruksi yang Kita Anggap Nyata
Persepsi sering dipahami sebagai proses ketika seseorang menangkap, menafsirkan, dan memberi makna pada rangsangan yang diterima melalu indera, namun para ahli modern menegaskan bahwa persepsi jauh lebih kompleks karena bersifat konstruksi. Artinya, persepsi tidak sekadar mencerminkan apa yang benar-benar terjadi di luar diri kita, tetapi merupakan hasil dari bagaimana otak menyusun, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi sehingga membentuk gambaran yang kita anggap sebagai kenyataan. Menurut Ramadani (2016) bahwa persepsi adalah proses kontruksi yang dipengaruhi oleh pengalaman, harapan, serta kondisi psikologis individu. Ia menjelaskan bahwa otak selalu melakukan seleksi terhadap informasi yang masuk, kemudian mengolahnya berdasarkan skema kognitif yang sudah dimiliki sebelumnya. Karena itu, apa yang seseorang anggap nyata sebenarnya merupakan hasil interpretasi personal yang dipengaruhi oleh ingatan, konteks, serta kebutuhan tertentu pada saat itu.
Pandangan serupa dikemukakan oleh Sari & Hasibun (2018) bahwa persepsi juga merupakan konstruksi sosial karena dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain, budaya, dan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, persepsi tidak berdiri sendiri sebagai proses internal, melainkan dibentuk oleh pengalaman sosial yang terus diterima individu sejak kecil. Dengan kata lain, persepsi yang kita anggap sebagai kenyataan bukan hanya hasil kerja otak secara biologis, tetapi juga bentuk pemaknaan yang dipelajari dari lingkungan sosial.
Penutup
Otak, perasaan, dan persepsi bekerja saling terhubung dalam membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan memahami dunia. Otak mengolah informasi dan pengalaman menjadi pola berpikir, sementara perasaan memberi warna emosional yang memengaruhi cara kita menilai situasi. Persepsi menjadi jembatan antara rangsangan dari luar dan proses internal, sehingga apa yang kita lihat atau dengar selalu dipengaruhi oleh emosi dan pengalaman sebelumnya.
Ketiga elemen ini membentuk siklus yang terus berulang: emosi memengaruhi persepsi, persepsi memicu emosi, dan otak terus memperbarui cara kita merespons. Karena itu, dua orang dapat mengalami hal yang sama tetapi menafsirkannya secara berbeda.
Dengan memahami hubungan erat antara otak, perasaan, dan persepsi, kita dapat lebih mengenali diri, mengelola emosi dengan bijak, serta memperbaiki cara pandang agar lebih realistis dan sehat. Integrasi yang seimbang dari ketiganya membantu kita menjadi pribadi yang lebih stabil, sadar, dan adaptif dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Penulis: Anggi Diah Listiyanti (01101425086), Muliani Suleman (01101425085), Lutfia Hasan (01101425071), Sagita Daud (01101425083).
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, F. (2012). Psikologi persepsi dan emosi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
King, L. A. (2017). The science of psychology (4th ed.). McGraw-Hill Education.
Nugroho, A. (2018). Psikologi kognitif dan emosi: Teori dan aplikasinya. Bandung: Alfabeta.
Ramadani, N. (2016). Persepsi dan konstruksi realitas dalam psikologi modern. Jakarta: Rajawali Pers.
Rianto, Y. (2010). Brain-based learning: Strategi pembelajaran berbasis cara kerja otak. Jakarta: Prenada Media.
Sari, D., & Hasibun, A. (2018). Konstruksi sosial dalam pembentukan persepsi individu. Medan: Pustaka Quantum.
Schacter, D. L., Gilbert, D. T., & Wegner, D. M. (2011). Psychology (2nd ed.). Worth Publishers.
Shaleh, A. (2004). Psikologi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanto, H. (2015). Emosi dan persepsi dalam konteks psikologi sosial. Yogyakarta: Andi Offset.

















