EKOPOLIS.CO.ID – Polemik dugaan penyalahgunaan jabatan dan Dana Desa oleh Kepala Desa Molosipat Utara kembali memantik sorotan publik. Berbagai laporan, desakan masyarakat, hingga aksi demonstrasi yang menuntut penindakan tegas telah berulang kali disuarakan. Namun hingga kini, proses hukum dinilai masih mandek dan tak menunjukkan progres berarti. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: ada apa dengan penanganan kasus ini?
Sejumlah pihak menilai bahwa lambannya penindakan turut menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum serta pemerintah daerah. Dugaan pelanggaran yang disorot bukanlah persoalan baru mulai dari indikasi penyalahgunaan kewenangan, tata kelola anggaran desa, hingga dugaan praktik maladministrasi yang telah berulang kali dilaporkan.
Pemerintah Daerah Dinilai Pasif
Di tingkat kabupaten, Pemerintah Daerah Pohuwato dinilai belum menunjukkan sikap tegas maupun langkah korektif atas berbagai temuan dan keluhan masyarakat. Meski perangkat daerah memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah desa, publik menilai belum terlihat adanya tindakan nyata untuk mengklarifikasi, memeriksa, apalagi memberikan rekomendasi sanksi administratif terhadap kepala desa bersangkutan.
Ketidakjelasan sikap Pemda inilah yang memunculkan opini bahwa kasus Molosipat Utara seolah “didiamkan”. Padahal, setiap laporan terkait dugaan pelanggaran tata kelola desa wajib ditindaklanjuti sesuai mekanisme internal sebelum berlanjut ke ranah hukum.
Kejaksaan Negeri Pohuwato Dinilai Belum Menunjukkan Arah Proses
Di sisi penegakan hukum, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pohuwato juga menjadi sorotan. Meski masyarakat dan organisasi pemuda telah berulang kali menyampaikan laporan indikasi penyalahgunaan jabatan dan dugaan korupsi, publik belum melihat adanya perkembangan berarti.
Tidak adanya rilis resmi, pemanggilan saksi, maupun langkah pemeriksaan awal membuat masyarakat menganggap proses hukum tidak berjalan transparan. Kemandekan ini semakin memperkuat asumsi bahwa ada “ruang kosong” yang belum disentuh oleh aparat hukum di tingkat daerah.
Kejaksaan Tinggi Gorontalo Juga Belum Ambil Alih
Harapan masyarakat beralih ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo, terutama ketika laporan dianggap jalan di tempat di tingkat lokal. Namun hingga kini, belum terdengar adanya tindakan tegas atau perintah supervisi dari Kejati untuk memastikan kasus ini benar-benar berjalan.
Kejati sejatinya memiliki ruang gerak untuk mengambil alih, mengawasi, atau memerintahkan percepatan proses penanganan, terlebih jika ada indikasi kelalaian penegakan hukum di tingkat kabupaten. Namun publik menilai bahwa respon tersebut belum tampak.
Unit Tipikor Juga Dinilai Belum Bergerak
Kondisi serupa terjadi pada unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Meski dugaan yang dilaporkan berkaitan langsung dengan pengelolaan anggaran desa yang merupakan ranah Tipikor belum terlihat adanya langkah investigasi yang mengarah pada pemeriksaan lapangan, audit dokumen, atau pemanggilan pihak terkait.
Masyarakat mempertanyakan mengapa dugaan-dugaan yang seharusnya dapat diproses melalui pemeriksaan awal justru tak menunjukkan tanda-tanda penindakan.
Publik Curiga Ada Faktor yang Membuat Kasus Ini ‘Tak Tersentuh’
Mandeknya penindakan di berbagai lini eksekutif maupun penegak hukum membuat publik berspekulasi. Beberapa kalangan menduga ada faktor kedekatan politik, relasi kekuasaan, atau intervensi pihak tertentu yang membuat kasus ini seperti tak tersentuh.
Meski dugaan tersebut belum dapat dibuktikan, persepsi publik terus menguat seiring ketidakjelasan proses hukum. “Keadilan yang lambat adalah ketidakadilan, Pemerintah Daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) harus segera bertindak apalagi masalah ini sudah lama diam di tempat, jangan sampai ada spekulasi bahwa yang bersangkutan kebal hukum,” demikian ungkapan salah satu aktivis GARDA MU
Seruan Publik untuk Transparansi dan Ketegasan
Situasi ini akhirnya mendorong desakan agar pemerintah daerah, Kejari Pohuwato, Kejati Gorontalo, hingga Tipikor menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik dan supremasi hukum. Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan profesional menjadi satu-satunya cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Kasus Molosipat Utara kini menjadi barometer apakah sistem hukum dan pemerintahan benar-benar berjalan sesuai jalurnya, atau justru tersandera oleh ketidakberanian dalam menindak oknum berkuasa. (*)

















